Sunday, September 4, 2016

Filsafat Era Modern



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sejak manusia tercipta, aktivitas berpikir itu ada dan berkembang, manusia berfilsafat, mempunyai ilmu pengetahuan dan tekhnologi, kemudian terus meningkat seiring dengan tantangan perkembangan zaman. Dalam kehidupan modern ini, filsafat bisa diartikan sebagai ilmu yang berupaya memahami semua hal yang muncul di dalam keseluruhan ruang lingkungan pandangan dan pengalaman umat manusia. Perkembangan dan perubahan zaman ke zaman memiliki corak dan ciri yang berbeda, kondisi ini cenderung memacu manusia untuk selalu berfikir mencari nilai kebenaran itu namun, karena ada perbedaan cara pandang dalam menafsirkan kebenaran tersebut, maka belum ada kesepakatan mengenai hakikat dan difinisi filsafat. Filsafat telah berhasil mengubah pola pikir bangsa Yunani dan umat manusia dari pandangan mitosentris menjadi logosentris.

B.     Rumusan Masalah
1.      Menjelaskan pengertian dari Rasionalisme
2.      Menjelaskan pengertian dari Empirisme
3.      Menjelaskan pengertian dari Kritisme

C.    Tujuan Masalah
1.      Untuk mengetahui pengertian Rasionalisme
2.      Untuk mengetahui pengertian Empirisme
3.      Untuk mengetahui pengertian Kritisme


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Rasionalisme
Rasio dalam bahasa inggris “reason”; dan dalam bahasa latin “ratio” yang berarti berhubungan dengan pemikiran. Dalam bahasa Yunani terdapat 3 istilah yang secara garis besarnya mempunyai arti yang sama, yakni : Phronesis, Nous, dan Logos. Secara umunm rasio dimengerti sebagai kemampuan untuk melakukan; abtraksi, memahami, menghubungkan, merefleksikan, memperhatikan kesamaan-kesamaan, dan perbedaan-perbedaan dan sebagainya.[1]
Rasionalisme adalah paham filsafat yang mengatakan bahwa akal (reason) adalah alat terpenting untuk memperoleh pengetahuan. Menurut aliran rasionalisme suatu pengetahuan diperoleh dengan cara berpikir. Sebenarnya sejarah rasionalisme  itu sudah sangat tua sekali. Thales ( 624-546 M ) telah menerapkan rasionalisme dalam filsafatnya. Lalu dengan sangat nyata dilanjutkan oleh kaum sofis dan para penentangnya ( Seocrates, Plato dan Aristoteles ).

Rasionalisme muncul ketika filsafat skolastik mempunyai peran yang otoritas atas pemikiran yang berlangsung lama dari tahun 400-1500 M sekitar seribu tahun. Dan yang menjadi tokoh utama dari rasionalisme modern/bapak filsafat modern ini yaitu Rene Descartes.
1.      Rene Descartes ( 1596-1650 M )
Rene Descartes merupakan filosof Prancis yang digelari “Bapak Filsafat modern”. Beliau adalah peletak dasar aliran rasionalisme. Zaman modern dalam sejarah filsafat biasanya dimulai oleh filsafat Descartes. Kata “modern” menunjukkan filsafat yang memiliki corak yang amat berbeda, bahkan berlawanan dengan corak filsafat pada abad pertengahan Kristen. Corak utamanya yaitu dianutnya kembali rasionalisme seperti pada masa Yunani Kuno. Ia berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang dapat dipercayai adalah akal. Ia tidak puas dengan filsafat scholastik karena dilihatnya sebagai saling bertentangan dan tidak ada kepastian. Adapun sebabnya karena tidak ada metode berpikir yang pasti.

Descartes mengemukakan metode baru yaitu metode keragu-raguan. Seakan-akan ia membuang segala kepastian, karena ragu-ragu itu suatu cara berpikir. Ia ragu-ragu bukan untuk ragu-ragu, melainkan untuk mencapai kepastian. Adapun sumber kebenaran adalah rasio. Karena rasio saja yang dianggap sebagai sumber kebenaran, maka aliran ini disebut Rasionalisme.[2]

Ia mengetahui bahwa tidak mudah menyakinkan tokoh-tokoh Gereja bahwa dasar filsafat haruslah rasio (akal). Tokoh-tokoh Gereja waktu itu tetap yakin bahwa dasar filsafat haruslah iman sebagaimana tersirat di dalam jargon credo ut intenlligen dari Anselmus itu. Untuk menyakinkan orang bahwa dasar filsafat haruslah akal, ia menyusun argumentasi yang amat terkenal. Argumentasi itu tertuang di dalam metode cogito tersebut.

Sekarang Descartes telah menemukan dasar(basis) bagi filsafatnya. Basis itu bukan filsafat Plato, bukan filsafat Abad Pertengahan, bukan agama atau lainnya. Fondasi itu ialah aku yang berpikir. Pemikiranku itulah yang pantas di jadikan dasar filsafat karna aku yang berpikir itulah yang benar-benar ada, tidak di ragukan, bukan kamu atau pikiranmu. Di sini kelihatanlah sifat subjektif, individualistis, humanis dalam filsafat Descartes. Sifat-sifat inilah nantinya yang mendorong perkembangan filsafat pada Abad Modern.

2.      Baruch De Spinoza ( 1632-1677 M )
Dia berpendapat bahwasanya malaikat itu hanya fiksi/imajinasi belaka dan bahwa Allah itu bersifat material. Dengan pendapat-pendapatnya ini dia dikucilkan oleh pihak gereja karena pemikirannya itu dianggap menyeleweng dari apa yang tertera dalam kitab suci injil. Menurut Solomon (1981:71), cara terbaik mempelajari metafisika modern ialah mempelajari karya-karya metafisika para filosof. Mempelajarinya jangan terpisah-pisah, misalnya kosmologi lebih dahulu kemudian ontologi.

Metafisika mempunyai jalur yang panjang sejak Yunani melintasi Abad Pertengahan, barulah kepada Descartes. Oleh karna itu kita tidak usah heran menemukan bahwa konsep sentral dalam metafisika Descartes adalah substansi dan definisi yang sesungguhnya sudah ada pada Aristoteles. Jika dalam pengertian descartes itu disebut cogito, sedangkan dalam pemikiran spinoza itu disebut konsep substansi. Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara descartes dengan spinoza, hanya yang berbeda dalam pemakaian kata yang dipakai.

Substansi menurutnya adalah sesuatu yang ada pada dirinya sendiri dan dipahami melalui dirinya sendiri. Dengan pengertian bahwasanya substansi itu sesuatu kenyataan yang mandiri tapi juga terisolasi dari kenyataan-kenyataan lain. Dalam pandangannya bahwasanya Tuhan itu adalah substansi yang mandiri tidak terikat oleh apa pun, tidak seperti manusia yang terikat oleh ruang dan waktu, dan substansi tidak berelasi dengan sesuatu yang lain, dan tidak dihasilkan atau tidak disebabkan oleh sesuatu yang lain (causi sui: penyebab dirinya sendiri).

Spinoza menolak akan apa yang diungkapkan oleh descates mengenai 3 substansi bawaan.[3] spinoza berpendapat bahwasanya hanya ada satu substansi, dan substansi itu adalah Allah. Dan masih menurutnya, bahwa substansi itu bersifat individual sekaligus menjadi hakikat segala sesuatu yang tampak individual.

3.      Gottfried Wilhem von Leibniz ( 1646-1716 M )
Leibniz dalam menerangkan ide, dia menggunakan kata yang berbeda dengan apa yang ditelah diungkapkan oleh kedua filosof yang telah kita bahas sebelumnya. Pebedaan ini tidaklah mengurangi akan maksud yang mereka tuju, hanya saja penggunaan kata saja yang berbeda. Kita dapat melihat perbedaan itu sebagaimana berikut :
Descartes
Ide ( ide sempurna )
Spinoza
Substansi ( substansi yang tak terbatas)
Leibnis
Monad ( supermonad )
Menurut Leibniz, satu monad dengan monad yang lainnya itu berbeda, dan Tuhan dalam pandangannya sebagai supermonad ( super monad dan satu-satunya yang tidak dicipta ), Tuhan ( supermonad ) adalah pencipta monad-monad yang lain. Monad adalah bagian terkecil, dan yang dimaksud dengan bagian yang terkecil ini bukanlah ukuran yang dimaksud melainkan dipahami sebagai tidak berkeluasaan, dengan kata lain monad bukanlah benda dan kenyataan jasmaniah, melainkan kenyataan mental yang terdiri dari persepsi dan hasrat. Monad ini semacam cermin yang membayangkan kesempurnaan yang satu itu dengan cara sendiri. Leibniz membayangkan monad sebagai ‘force primitives’ yang berarti daya purba yang tidak material melainkan spiritual. Dengan kata lain, monad yang dia maksud itu adalah kesadaran diri tertutup yang dia sejajarkan dengan cogito descartes.


B.     Empirisme
Empirisme adalah salah satu aliran dalam filosof yang menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan serta pengetahuan itu sendiri, dan mengecilkan peranan akal. Istilah Empirisme diambil dari bahasa Yunani yaitu emperia yang berarti coba-coba atau pengalaman. Sebagai tokohnya adalah Francis Bacon, Thomas Hobbes, John Locker, dan David Hume. Karena adanya kemajuan ilmu pengetahuan dapat dirasakan manfaatnya, pandangan orang terhadap filsafat mulai merosot. Hal itu terjadi karena filsafat dianggap tidak berguna lagi bagi kehidupan. Pada sisi lain ilmu pengetahuan yang bermanfaat, pasti, dan benar hanya diperoleh lewat indra (empiri) dan empirilah satu-satunya sumber pengetahuan. Pemikiran tersebut lahir dengan nama Empirisme.
1.      Francis Bacon ( 1210-1292 M )
Dari muda Bacon sudah mempunyai minat terhadap filsafat. Akan tetapi waktu dewasa ia menjabat pangkat-pangkat tinggi dikerjakan inggris kemudian diangkat dalam golongan bangsawan. Setelah berhenti dari jabatannya yang tinggi. Barulah ia mulai menuliskan filsafatnya.

Menurut Francis Bacon bahwa pengetahuan yang sebenarnya adalah pengetahuan yang diterima orang melaui persatuan inderawi dengan dunia fakta. Pengalaman merupakan sumber pengetahuan yang sejati. Dengan demikian bagi Bacon cara mencapai pengetahuan itupun segera nampak dengan jelasnya. Haruslah pengetahuan itu dicapai dengan mempengaruhi induksi. Haruslah kita sekarang memperhatikan yang konkrit, mengumpulkan, mengadakan kelompok-kelompok, itulah tugas ilmu pengetahuan.

2.      Thomas Hobbes ( 1588-1679 M )
Thomas Hobbes adalah seorang ahli fikir yang lahir di Malmesbury, ia adalah anak dari seorang pendeta. Menurutnya bahwa pengalaman inderawi sebagai permulaan segala pengetahuan. Hanya sesuatu yang dapat disentuh dengan inderalah yang merupakan kebenaran. Pengetahuan kita tak mengatasi pengindraan dengan kata lain pengetahuan yang benar hanyalah pengetahuan indera saja, yang lain tidak. Ada yang menyebut Hobbes itu menganut sensualisme, karena ia amat mengutamakan sensus (indra) dalam pengetahuan. Tetapi dalam hubungan ini tentulah ia anggap salah satu dari penganut empirisme, yang mengatakan bahwa persatuan dengan indera( impiri) itulah yang menjadi pangkal dan sumber pengetahuan.

 Pendapatnya adalah bahwa ilmu filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan yang sifatnya umum. Menurutnya filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan tentang akibat-akibat atau tentang gejala-gejala yang doperoleh. Sasaran filsafat adalah fakta, yaitu untuk mencari sebab-sebabnya. Segala yang ditentukan oleh sebab, sedangkan prosesnya sesuai dengan hukum ilmu pasti/ ilmu alam.

3.      John Locke ( 1932-1704 M )
John locke dilahirkan di Wrington, dekat Bristol, inggris. Ia adalah filosof yang banyak mempelajari agama Kristen. Disamping sebagai seorang ahli hukum ia juga menyukai filsafat dan teologi, mendalami ilmu kedokteran, dan penelitian kimia. Dalam mencapai kebenaran, sampai seberapa jauh (bagimana) manusia memakai kemampuannya.

Ia hendak menyelidiki kemampuan pengetahuan manusia sampai kemanakah ia dapat mencapai kebenaran dan bagimanakah mencapainya itu. Dalam penelitiannya ia memakai istilah sensation dan reflecation. Sensation adalah suatu yang dapat berhubungan itu, reflection adalah pengenalan intuitif yang memberikan pengetahuan kepada manusia, yang lebih baik dari pada sensation.

John Locke berargumen :
a.   Dari jalan masuknya pengetahuan kita mengetahui bahwa innate itu tidak ada, memang agak umum orang beranggapan bahwa innate itu ada. Ia itu seperti ditempelkan pada jiwa manusia, dan jiwa membawanya ke dunia ini. Sebenarnya kenyataan telah cukup menjelaskan kepada kita bagaimana pengetahuan itu datang, yakni melalui daya-daya yang alamiah tanpa bantuan kesan-kesan bawaan, dan kita sampai pada keyakinan tanpa suatu pengertian asli.
b.   Persetujuan umum adalah argument yang terkuat. Tidak ada sesuatu yang dapat disetujui oleh umum tentang adanya innate idea justru dijadikan alasan untuk mengatakan ia tidak ada.
c.     Persetujuan umum membuktikan tidak adanya innate idea.
d.    Apa innate itu sebenarnya tidaklah mungkin diakui dan sekaligus juga tidak diakui adanya. Bukti-bukti yang mengatakan ada innate itu ada justru saya jadikan alasan untuk mengatakan ia tidak ada.
e.    Tidak juga dicetakkan (distempelkan) pada jiwa sebab pada anak idiot ide yang innate itu tidak ada padahal anak normal dan akan “idiot sama-sama berpikir”.

4.      David Hume ( 1711-1776 M )
David Hume menjadi terkenal oleh bukunya. Buku hume, treatise of human nature (1739 M). ditulisnya tatkala ia masih muda, yaitu tatkala ia berumur dua puluh tahunan. Buku itu tidak terlalu banyak menarik perhatian orang, karenanya hume pindah ke subyek lain, lalu ia menjadi seorang yang terkenal sebagai sejarawan. Kemudian pada tahun 1748 M ia menulis buku yang memang terkenal, yang disebutnya An Enqury Cincering Human Understanding, waktu mudanya ia juga berpolitik tetapi tak terlalu mendapat sukses. Ia menganalisa pengertian substansi. Seluruh pengetahuan itu tak lain dari jumlah pengalaman kita.

Apa saja yang merupakan pengetahuan itu hanya disebabkan oleh pengalaman. Adapun yang bersentuhan dengan indra kita itu sifat-sifat atau gejala-gejala dari hal tersebut. Yang menyebabkan kita mempunyai pengertian sesuatu yang tetap-substansi-itu tidak lain dari perulangan pengalaman yang demikian acap kalinya, sehingga kita menganggap mempunyai pengertian tentang suatu hal, tetapi sebetulnya tidak ada substansi itu hanya anggapan, khayal, sebenarnya tidak ada.

Perbedaan empirisme dan rasionalisme di antaranya[4]:
Empirisme
Akal itu pasif dan dianggap sebagai penyimpanan data-data dari pengalaman-pengalaman
Akal menjadi objek dan pengalaman menjadi subjek
Rasionalisme
Akal itu aktif dan semua yang dapat diindera hanya perangsang bagi akal
Akal menjadi subjek dan pengalaman/yang dapat diinderawi menjadi objek

C.   Kritisme ( Immanuel Kant 1724-1804 )
Aliran ini muncul pada abad ke-18 suatu zaman baru dimana seorang yang cerdas mencoba menyelesaikan pertentangan antara rasionalisme dengan emperisme. Zaman baru ini disebut zaman pencerahan (aufklarung) zaman pencerahan ini muncul dimana manusia lahir dalam keadaan belum dewasa (dalam pemikiran filsafatnya). Akan tetapi, seorang filosof Jerman Immanuel Kant (1724-1804) mengadakan penyelidikan (kritik) terhadap pernah pengetahuan akal. Sebagai latar belakangnya, manusia melihat adanya kemajuan ilmu pengetahuan (ilmu pasti, biologi, filsafat dan sejarah) telah mencapai hasil yang menggembirakan. Disisi lain, jalannya filsafat tersendat-sendat.

Untuk itu diperlukan upaya agar filsafat dapat berkembang sejajar dengan ilmu pengetahuan alam. Pada rasionalimse dan emperisme ternyata amat jelas pertentangan antara budi dan pengalaman, manakah yang sebenarnya sumber pengetahuan, makanah pengetahuan yang benar? Seorang ahli pikir Jerman Immanuel Kant mencoba mengadakan penyelesaian pertalian ini. Pada umumnya, Kant mengikuti rasionalisme, tetapi kemudian terpengaruh oleh emperisme (hume). Walaupun demikian, Kant tidak begitu mudah menerimanya karena ia mengetahui bahwa emperisme membawa karagu-raguan terhadap budi manusia akan dapat mencapai kebenaran.

Maka Kant akan menyelidiki (mengadakan kritik) pengetahuan budi serta akan diterangkan, apa sebabnya pengetahuan budi ini mungkin. Itulah sebabnya aliran ini disebut kriticisme. Akhirnya, Kant mengakui peranan budi dan keharusan empiri, kemudian dicobanya mengadakan sintesis. Walaupun semua pengetahuan bersumber pada budi (rasionalisme), tetapi adanya pengertian timbul dari benda (emperisme) budi metode berpikirnya disebut metode kritik. Untuk itu filsafat dapat berkembang sejajar dengan ilmu pengetahuan alam. Isaac Newton ( 1642-1727 ) memberikan dasar berfikir yang induksi yaitu pemikiran yang titik bertolak pada gejala-gejala dan mengembalikan kepada dasar-dasar yang sifatnya umum.

Dan di jerman pertentangan antara rasionalisme dan empirisme semakin berlanjut. Menurut seorang ahli pikir jerman Immanuel Kant (1724-1804) dalam Asmoro ahmadi (2005 : 119) ingin mencoba permasalahan dan memahami secara arti dari kedua aliran tersebut maka ia mengakui kebenaran ilmu dan dengan akal manusia akan dapat mencapai kebenaran. Dengan demikian akhirnya, Kant mengakui peranan akal dan keharusan empiri, sehingga diadakan sitensis. Walau pengetahuan bersumber pada akal ( Rasionalisme ), tetapi adanya pengertian timbul dari benda (empirisme). Ibarat burung harus mempunyai sayap (rasio) dan udara (empiri). Maka kita dapat menyimpulkan bahwa Pendirian aliran rasionalisme dan Emperisme sangat bertolak belakang. Rasionalisme berpendirian bahwa rasiolah sumber pengalaman/pengetahuan, sedang Empirisme sebaliknya berpendirian bahwa pengalamanlah yang menjadi sumber tersebut. Imanuel Kant (1724-1804 M) berusaha mengadakan penyelesaian atas pertikaian itu dengan filsafatnya yang dinamakan Kritisisme (aliran yang kritis). Jadi metode berpikirnya metode Kritis walaupun ia mendasarkan diri yang tinggi dari akal tetapi ia titak mengingkari.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Ketiga aliran besar ini (rasionalisme, empirisme dan kritisme) telah cukup untuk menjadikan filsafat modern membingungkan orang modern. Rasionalisme dan  kritisme mengatakan bahwa roh yang hakikat sedangkan empirisme mengatakan benda-benda yang hakikat dan roh tidak ada. Akibatnya para sains dan agama sudah jelas : sains dicurigai (terutama pada hume) dan agama diragukan.

Keadaan ini mungkin lebih parah ketimbang kebingungan orang pada zaman Socrates karena filsafat sofisme. Keadaan inilah yang di hadapi oleh kant, seperti Socrates menghadapi sofisme Yunani 2000 tahun yang lalu. Cara kant menyelesaikan soal ini pada dasarnya sama dengan cara Socrates pada tempo hari. Ia menyatakan bahwa akal ada daerahnya dan hati (iman) ada daerahnya.

Bila akal memasuki daerah hati maka ia akan hilang dalam paralogisme. Sains dan agama sama-sama dapat di pegang, sama-sama di perlukan. Skeptis terhadap sains amat berbahaya, keraguan kepada agama sama juga berbahayanya.

B.     Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini terdapat kekurangan. Oleh karena itu kepada para pembaca, khususnya kepada dosen pembimbing untuk mengkritik makalah ini yang bersifat konstruktif, kami ucapkan terima kasih.




DAFTAR PUSTAKA
Bagus, Lorenz. 2005. Kamus Filsafat. Cetakan keempat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Muslih, Mohammad. 2008. Filsafat Ilmu: Kajian Atas Asumsi Dasar Pradigma dan Kerangka Teori Ilmu pengetahuan, cetakan kelima. Yogyakarta: Belukar.
Tafsir, Ahmad. 2003. Filsafat Umum : akal dan hati sejak thales sampai capra, Cetakan kedua belas, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Syadali, Ahmad. H. Drs, et. At. 1997, Filsafat Umum, Bandung: Pustaka Setia.
Achmadi Asmoro. 1995, Filsafat Umum, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.

No comments:
Write komentar